"Bagai
kacang lupa akan kulitnya"
KALIMAT ini sudah sering kita dengar, dan hafal
pastinya. Walau ada yang meragukan kesahihah cerita itu, tapi
di salah satu tempat di Sumatera Barat sana ada sebuah batu yang bentuknya
persis mirip manusia yang membatu.
Suatu waktu, berdialoglah aku
dengan seorang kenalan baru. Kami bercerita tentang kondisi Indonesia terkini.
Dia berkata, "Sekarang susah kita mencari pemimpin. Mereka yang dulu kita
anggap bener, eh malah ketika jadi anggota dewan jadi begitu."
Maklumlah, beberapa waktu lalu
ada anggota dewan yang terkena kasus. Orang bersih, dikenal luas malah menerima
uang suap. Ada juga aktivis mahasiswa, waktu jadi mahasiswa sangat kritis dan
idealis, namun kemudian ketika telah mencicipi lezatnya kuasa, mereka jadi lupa
daratan.
Di film Gie yang berinspirasi dari buku Catatan
Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie, kita menyaksikan sebuah fakta yang
sampai sekarang masih ada. Betapa para mantan aktivis yang kemudian menjelajah
ke dunia politik menjadi berbeda. Penampilannya jadi sangat elit, cara
bicaranya jadi lain, bahkan sama kawan sendiri tatapannya agak berbeda (kalau
tidak disebut sinis).
Suatu waktu lainnya, di tepian
Pantai Losari yang indah di selatan pulau Sulawesi, saya berdialog dengan
seorang penulis muslim yang juga orang dekat mantan Perdana
Menteri kita yang pertama, almarhum Mohammad Natsir .
Dia berkata kepadaku tentang
kiprah para aktivis dakwah yang kemudian menjadi politisi. Yang dimaksudkan
adalah seseorang yang sudah dikenal luas di masyarakat. Dalam sebuah perjamuan
saat tiba salam-salaman (khas Indonesia), sang penulis ini menyapa sang
politisi. Tapi, anehnya sapaan itu tidak mendapatkan jawaban yang berarti.
Bahkan, sang politisi yang notabene
lebih muda dari beliau
tidak memberikan tangannya duluan untuk bersalam kepada aktivis yang lebih tua.
Seseorang ketika telah naik
pada tangga tinggi, terkadang lupa akan sejarahnya. Cara
bicaranya berubah, karena mengikuti trend
di gedung wakil rakyat. Atau,
kalau belum menjadi wakil rakyat, style-nya
menjadi lain. Apakah itu salah? Sama sekali tidak ada yang salah. Namun,
tetaplah sejarah dan tanah dimana kita pernah hidup jangan sampai kita lupakan
sama sekali.
Anggaplah di dunia Facebook.
Kalau kita bertemu kawan lama, kadang kalimat pertama yang keluar adalah,
"Masih ingat saya nggak?" Selalu itu yang muncul. Saya biasa bertanya
begitu kepada kawan-kawan lama saya, juga biasa mendapatkan pertanyaan pertama
seperti itu. Kadang, ada saja dari kawan lama kita yang merespon, tapi ada juga
yang karena kesibukannya jadi lupa untuk membalas pesan kawannya.
Ada cerita lainnya. Seorang
pimpinan pernah menjanjikan sesuatu ke anak buahnya. Tiba di hari H, sang
pimpinan tidak menepati apa yang pernah dijanjikannya. Sebelumnya, para anak
buahnya sudah berkali-kali sms (dan itu, mungkin pakai dananya pribadi), tapi
tidak dibalasnya juga. Mungkin dari 5 pesan pendek (sms),
hanya satu yang dibalasnya. Gimana perasaan sang anak buah ketika itu? Pastinya
merasa aneh, kesal, dan heran kenapa boss-nya seperti itu.
Tempat dimana kita pernah
berpijak tetaplah perlu kita ingat. Bahwa kita semua diciptakan dari tanah, itu
juga harus kita ngiangkan selalu di telinga. Kita pasti pernah mendengar kita
fakta bahwa ada saja manusia yang jasadnya ditolak oleh bumi. Waktu mereka mau
dikubur, tanah itu menjadi sempit, dah susah sekali untuk membenamkan tubuhnya.
Dalam film seperti Rahasia Ilahi, yang trend beberapa tahun lalu itu, tidak
menutupkemungkinan ada kebenarannya di masyarakat.
Ini sudah banyak faktanya.
Betapa seseorang ketika masih belum apa-apa, sangatlah taat dia pada
keputusan-keputusan, ataukah pada syari'at. Namun ketika lambat laun kuasa,
nama besar disandangnya, mereka jadi lupa pada daratannya.
Sambil berdiri di sebuah toko
buku, saya pernah membaca biografi yang ditulis oleh penulis senior Ramadhan
KH. Judulnya, Kuantar ke
Gerbang. Ini cerita tentang istri Bung Karno, bernama Inggit, yang
merasakan seperti tersisih dari kekasihnya, suaminya tercinta. Diceritakan
bahwa waktu masih belum ada apa-apanya, Bung Karno itu sangat dekat dengan
istrinya, dan banyak sekali cinta dan kasih diberikan oleh Ibu Inggit kepada
sang pahlawan besar ini. Namun ketika nama Bung Karno sudah mulai tersebar,
dipuja dia dimana-mana, pidatonya dihadiri oleh banyak manusia, kata-katanya
mulai dikutip kiri kanan, dia jadi lupa daratan. Akhirnya, istrinya pun menjadi
orang yang tersisihkan. "Kuantar ke Gerbang", kalau
kita mendengar judul ini, yang terbetik di kepala kita adalah, seseorang yang
banyak jasanya, dan seharusnya dia menikmati indahnya hidup dalam istana, namun
dia memilih untuk berhenti di gerbang istana. Dia biarkan orang tercintanya itu
menikmati istana, dan dia cukup di luar gerbang, untuk kemudian beranjak
pulang.
Begitulah pesonanya dunia,
termasuk politik. Kita yang dulunya bicara ideal, lama-lama menjadi pragmatis.
Kita yang dulunya begitu fasih meneriakkan perlunya pemerintahan yang bersih,
malah menjalankan politik yang tidak bersih. Kita yang dulunya rajin membaca Al-Qur'an,
bahkan mungkin dalam tas kita selalu ada kitab suci itu, malah lambat laun
mencampakkan secara sistematis kitab itu, bahkan isinya bisa kita pelintir
begitu saja. Wahai, itukah yang kita cari selama ini? Duhai, jadi selama ini
apakah kenikmatan duniawi seperti inikah yang engkau dambakan dari kicauan-kicauan
indah yang selalu didoktrinkan pada orang-orang di bawah?
"Nasihat al-Muluk" adalah judul dari buku yang ditulis oleh salah seorang ulama. Artinya Nasihat
bagi Penguasa. Seperti
juga Machiavelli pernah menulis, sebagai masukan bagi para raja untuk bertindak
menghalalkan segala cara dalam bukunya. Seharusnya tiap kita memberikan
masukan, nasihat bagi para penguasa kita atau orang-orang yang
memiliki muyul (bahasa Arab:
“kecenderungan”) untuk menjadi penguasa agar tidak lupa akan sejarahnya.
Di salah satu dialog dengan
kawan baru itu, sang kawan menceritakan kisah bagus ini. Waktu Gubernur Jakarta
Ali Sadikin hendak membuat kebijakan tentang pekuburan bahwa karena sempitnya
lahan Jakarta maka mayat-mayat baiknya tidak dikubur satu-satu, namun bisa juga
dengan dibakar, seorang Kiai langsung mendatangi sang gubernur. Dia berbicara
langsung, menasehati sang gubernur, dan akhirnya, kebijakan itu tidak jadi
dilaksanakan.
"Begitu indah dunia, siapapun kan terlena. Harta pangkat dan wanita,
melenakan jiwa.." Pernah
dengarkan syair itu? Itu petikan nasyid dari Hijjaz. Dunia ini indah, dan kalau
sudah merasakan keindahannya, kadang kita menjadi susah untuk beranjak dari
situ, sama seperti kita masuk dalam toilet. Pertama-tama kita tidak nyaman,
tapi kalau sudah lama-lama, kita akan betah juga di sana. Mungkin, awalnya kita
sangat anti pada korupsi, tapi kalau lama-lama ada saja yang mentransfer
sejumlah uang ke kita, atau ada amplop yang diselipkan ke tas kita, apakah kita
masih berani untuk berkata tidak pada harta-harta yang tidak jelas alias syubhat itu?
Tempat, tanah, dimana kita
pernah berpijak. Alam, dimana kita pernah dibesarkan. Kawan-kawan lama dimana
mereka turut membentuk karakter kita. Dan, al-Qur'an yang membimbing diri kita,
yang memberikan kita ketenangan. Dan, Allah yang selalu memberikan kita solusi
atas masalah-masalah kita, kadang kita lupakan saat kita tengah berada pada
posisi yang begitu nikmat.
Ah, masih konsistenkah kita
hingga hari ini? Dan, masih ingatkah kita pada ladang dimana kita pernah
bermain-main di dalamnya yang ternyata sangat membantu kita? Ah, kita bukan
Malin Kundang atas orang tua, kawan, organisasi, dan sejarah kita kan? []
No comments:
Post a Comment