ADA orang yang sibuk
mencari kebenaran. Puluhan, ratusan bahkan ribuan buku dia baca, tapi tidak
ditemukannya juga yang bernama kebenaran. Dia pun frustasi dengan pencarian
itu, akhirnya memilih untuk berhenti, padahal kebenaran itu sejatinya tak jauh
berada dari dirinya. Ada orang yang tidak percaya sekali adanya Allah. Dia
berkelana kemana-mana, dia menyusuri lembar demi lembar, dia bertemu wajah demi
wajah. Tapi, tidak juga ditemukannya Allah. Dalam perjalanannya pun dia
terjebak, dia tersesat dalam rimba belantara yang tak tentu arah. Padahal,
Allah berada begitu dekat dengan dirinya.
Seorang teolog pernah
mengadakan tamasya intelektual dalam rangka mencari dalil-dalil tentang Allah.
Dia berjalan, berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain, dan pada akhirnya
dia berkata:
”Aku
menghabiskan umurku dalam ilmu teologi guna mencari dalil. Namun, justru aku
malah semakin jauh dari dalil yang aku cari. Kemudian aku kembali kepada al-Qur’an. Aku mengkajinya dan merenungkannya. Hasilnya, aku mendapatkan
dalil yang benar tanpa aku sadari.”
Pencarian yang panjang,
menghabiskan waktu yang begitu singkat hanya untuk sebuah masalah. Penciptaan
alam semesta, langit dan bumi, bintang gemintang, matahari, bulan, cahaya,
kegelapan, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, udara, apa yang terlihat
hingga yang tidak kita lihat dari mata kepala kita: semuanya ada dalam al-Qur’an.
Sebuah syair di bawah ini
sepertinya ditulis sebagai perumpaan untuk orang-orang seperti sang teolog di
atas.
”Sungguh
aneh, dan ternyata keanehan itu banyak sekali. Seseorang
dekat dengan kekasih, namun ia tidak dapat bertemu dengannya. Seperti
unta di padang pasir, ia dibunuh oleh rasa hausnya. Padahal ia
memikul air di atas punggungnya”
Istri Nabi Luth sebegitu
dekatnya dengan sang nabi, tapi malah ia kafir dengan risalah ilahiah yang
dibawa suaminya. Kan’an adalah anak kandung yang sangat disayangi oleh Nabi
Nuh, akan tetapi dengan sombongnya dia menolak ajakan ayahnya untuk naik
bersama-sama dalam bahtera yang telah dibuat sang ayah. Abu Thalib, paman nabi
Muhammad Saw. Orang dekat nabi, bahkan pembela nabi. Akan tetapi ternyata di
akhir hayatnya ia tetaplah berpegang kepada agama jahiliahnya, agama Abdul
Muthallib.
Sejatinya, seharusnya,
idealnya orang-orang yang begitu dekat dengan sumber cahaya, ia akan mendapatkan
sinar terang dari cahaya itu. Namun, namanya juga hidayah, kita tidak bisa
menentukan siapa-siapa yang akan meraihnya, kecuali atas kehendak dan izin-Nya.
Manusia berkehendak, tapi Tuhan jua yang memutuskan.
Setiap
hari kita selalu berdoa kepada Allah untuk memberikan kita hidayah. Sadar atau
tidak sesungguhnya saat itu kita telah menyerahkan jiwa raga kita agar diisi
dengan ”celupan” dari Allah Swt. Akan tetapi setelah kita tunaikan shalat, kita
pun tergoda lagi untuk menjauh dari doa yang kita pinta, akhirnya menjadi
jauhlah kita dari kebenaran.
Untuk
mendapatkan hidayah dari Allah, maka kita perlu memperhatikan beberapa hal,
yaitu: Pertama, pasrahkan diri. Kita harus memasrahkan diri kita hanya
kepada-Nya. Kita bersedia untuk diarahkan oleh Allah kemana hendak-Nya. Sebagai
hamba, kita memang sangat teringat dengan keinginan tuan kita, yaitu Allah.
Pasrah dirilah inilah yang sudah pernah dicontohkan oleh nabi kita Ibrahim
dalam pencariannya menemukan Tuhan yang sesungguhnya.
Memasrahkan
diri berarti kita kembali kepada fitrah kita, yaitu suci bersih. Kita perlu
senantiasa membersihkan diri kita semaksimal mungkin. Karena Allah menciptakan
kita hanyalah agar kita menyembah-Nya. Artinya bahwa, eksistensi kita di bumi
ini hanyalah untuk banyak-banyak berbuat baik, amalan shaleh yang merupakan
perintah dari Allah sebagai pencipta kita. Kita harus
bersihkan diri agar dapat berbuat amalan dengan bersih pula.
Kedua,
berusaha. Hidayah itu dicari. Untuk menjadi hamba-Nya yang terpilih, kita perlu berusaha keras.
Orang-orang shaleh yang ada di sekitar kita juga dulunya orang biasa, mereka
lahir dalam keadaan yang sama dengan kita, tapi kenapa belakangan hari malah
maqam mereka lebih tinggi dari kita? Itu karena mereka senantiasa berusaha
meng-up grade iman mereka semaksimal kemampuan. Mereka bisa tinggi oleh
karena mereka menghayati pinta mereka dalam tiap salat, ”Ya Allah,
tunjukkanlah kami jalan-Mu yang lurus.” (QS. al-Baqarah: 5)
Ketiga,
bergaul dengan orang saleh. Sering bersama dengan orang baik lambat laun
seorang penjahat akan menjadi baik. Seorang yang terlihat biasa-biasa saja akan
berubah seiring dengan perputaran waktu jika ia rajin bergaul dengan orang
shaleh. Bergaul dengan tukang besi kita akan kecipratan bau besi, sedangkan
bergaul dengan penjual minyak wangi kita akan kecipratan juga wanginya.
Dalam perspektif
ini, maka lingkungan cukup dominan dalam membentuk karakter seseorang. Sebutlah
misalnya, Husain Thabathaba’i dari Iran yang di umur 5 tahun telah hafal al-Qur’an 30 juz, itu
berkat lingkungan orang tua yang penghafal al-Qur’an. Husain bisa menjadi sedemikian alim, juga karena orang tuanya berusaha
semaksimal mungkin menjadi alim. Anas bin Malik, salah seorang sahabat nabi
yang banyak menelorkan ulama besar bisa menjadi sedemikian harum namanya karena
ibunya yang bernama Ummu Sulaim turut membentuk karakternya. Anas menjadi
pembantu setia Nabi Muhammad Saw, olehnya dia didoakan oleh sang rasul, ”Ya
Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta panjangkanlah usianya.”
Bergaul dengan orang baik akan membentuk kita menjadi baik. Mari
kita biasakan memasrahkan diri kita, bertawakkal hanya kepada Allah, kemudian
berusaha sekuat tenaga menjadi muslim yang terbaik dengan bergaul bersama orang-orang saleh. []
No comments:
Post a Comment