![]() |
Muhasabah menangisi diri sendiri |
“Ibumu
melahirkanmu dalam keadaan engkau menangis, dan
orang-orang di sekitarmu tertawa gembira.” (Kata Bijak)
KATA orang, ada tiga
hal penting yang kerap kita rayakan. Adalah: melahirkan, menikah dan meninggal.
Setelah lahir, ada akikah untuk sang anak. Saat menikah, ada walimah sebagai
bentuk kesyukuran. Dan saat meninggal ada ta'ziyah
sebagai bentuk empati sosial sesama umat manusia.
Dalam hidup kita kerap
menangis. Saat kita bergembira, adakalanya kita menangis. Seorang mahasiswa
yang betahun-tahun belajar, banting tulang dia cari uang, dia merasakan betapa
susahnya bisa eksis, nah ketika dia
wisuda sungguh gembiralah hatinya, dan dia pun menangis. Seorang ayah, yang
telah sukses membesarkan anaknya, walau dia tidak sebaik nasib anaknya, tapi
dia bergembira dengan hal itu, dia pun menangis. Bahkan, saat kita mendengar
ada orang-orang di sekitar kita dipanggil satu persatu, kita pun jadi tak kuasa
menahan air mata.
Waktu kecil aku punya tetangga,
namanya Yat. Suatu saat kudengar kabarnya dia sakit. Maka dibawalah
dia ke rumah sakit. Kurang lebih seminggu dia di rawat, dan pada akhirnya dia
pun pergi untuk selamanya. Yat sakit apa sebenarnya? Ternyata, waktu itu di
kakinya ada infeksi. Kakinya kena potongan kayu, dan potongan kayu tipis itu
tidak dikeluarkan selama seminggu, akhirnya bengkak dan jadi infeksi. Saat
infeksi itu, dia di bawa ke rumah sakit dan tidak bisa disembuhkan.
Aku kadang berpikir, kenapa ya
Yat begitu cepat dipanggil-Nya. Padahal Yat adalah kawan bermainku di waktu
kecil. Sebagai tetangga, kami sering bermain. Aku juga biasa ke rumahnya, naik di atas rumahnya. Menyeberang atap dari rumahku ke rumahnya untuk sekedar bermain layangan sampai
sore.
Di Pesantren Darunnajah, aku punya kawan namanya Ja'far. Kawan-kawanku yang seangkatan
mungkin masih ingat. Kami bersama-sama menjalani aktivitas. Saya agak kurusan,
sedangkan dia lebih berisi. Orangnya pendiam sebenarnya. Namun, suatu saat kami
dikejutkan dengan kepergiannya. Kami merasa sedih ditinggalkan oleh orang-orang
dekat kami, apalagi kami masih kecil-kecil, dan masih bingung kenapa itu harus
terjadi.
Kadang aku menangis saat ada
seorang yang baik hati pergi. Seorang pedagang, dia pernah memberikan jariyah-nya
untuk sebuah buletin yang aku buat. Dan, bagi anakku dia juga memberikan sebuah
baju yang begitu cantik dan manis. "Anisah, nanti om kasih lagi ya baju
yang lain," begitu katanya. Hingga pada sebuah malam ketika dia pulang
telat, dia ingin makan bersama dengan keluarganya di larut malam, tapi
mertuanya bilang nanti pagi saja sekalian. Dan, tak ada yang tahu beberapa jam
kemudian dia meninggal.
Lelaki itu masih terngiang di
telinga saya. Orangnya lembut. Usianya 30-an tahun. Dia tamatan
sarjana dari salah satu kampus di Malang. Orang Padang sebenarnya. Ganteng, aku
melihat dia punya. Dia selama beberapa tahun ini adalah orang yang mengontrak
sebuah toko kami, dan dari situ aku bisa melanjutkan kuliahku. Kadang, kalau
mengingat beliau aku jadi sedih sendiri. Apalagi ketika mendengar anakku yang
aku sayangi, Anisah Syahidah, berkata, "Om lagi bobo."
Di waktu yang lain, sekalian
banyak orang pergi dalam ritme yang tidak terlalu lama. Kerusuhan melanda, aku
merasa waktu itu sudah hampir tamatlah riwayatku. Di belakang sudah ada
pasukan, di samping ada juga, mereka merangsek maju, dan kami hanya beralatkan
sebuah parang yang tidak juga tajam bagus. Beberapa menit aku berdoa, agar aku
dipanjangkan umur oleh Allah karena aku masih ingin mendirikan sekolah,
pesantren, sebagai sumbangsih bagi dakwah ini. Beberapa menit kemudian, kami
pun dibukakan jalan, ada tentara yang membantu kami, kami lari, lari
sekencang-kencangnya. Di belakangku ada ayahku, lelaki perkasa yang aku bangga
menjadi anaknya. Aku berlari sampai ke masjid paling besar di kampung kami.
Disana sudah berkumpul banyak orang; ada yang luka berceceran darah, ada yang
terisak-isak saat awan di langit kampung kami begitu hitam. Tak ada dokter, dan
satu persatu korban itu berjatuhan. Masjid kami pun menjadi tempat pengungsian
yang paling akhir di desa kami.
Orang-orang pada mati. Di kampung sebelah, 200-an orang
terpanggang begitu saja. Kalau kamu masih ingat beberapa tahun lalu, dalam film
yang pernah aku putarkan dalam acara-acara itu, atau dalam foto-foto yang biasa
aku bawa-bawa itu, saudara-saudara kita begitu cepat pergi meninggalkan kita.
Di antara mereka banyak yang meninggal dalam keadaan tragis karena kerusuhan
yang entah siapa yang memulai duluan.
Hidup memang sudah begitu. Kita tidak tahu apa yang akan
terjadi besok. Kita sama
sekali tidak punya ilmu untuk memastikan apa masa depan kita, dan mau jadi apa
kita nanti. Kita hanya bisa me-reka reka
masa depan kita setelah belajar dari kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di
masa silam.
Orang yang beriman
sesungguhnya mereka sangat takut kepada Allah. Mereka takut karena jangan
sampai amal-amal yang selama ini mereka kerjakan menjadi sia-sia saja. Itu
sangat berbahaya. Karena jangan sampai kita merasa sudah beramal, tapi
sesungguhnya itu adalah riya, keinginan untuk dilihat orang, atau keinginan
untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Kita menangis, kita sedih ketika ada
masalah yang kita derita. Ketika kita menderita kesepian, hati menjadi tidak
menentu, kita jadi ingat akan masa lalu, dan kita jadi sedih.
Aku kadang teringat juga
sebuah kisah. Ada seseorang yang merantau, dia jauh dari kedua orang tuanya,
tapi dia sudah memilih jalur itu. Namun, kemudian kesepian dia rasa melanda
senantiasa. Maka, tiap hari dia bercerita tentang hidupnya, kenangan indah di
masa-masa kecilnya, sampai pada hal-hal lucu yang pernah ia alami. Ia bercerita
dengan senang saja, karena dengan begitu hatinya menjadi senang, dan tidak
menderita kesepian lagi. Kadang, aku melihatnya menangis. Dan, hatiku juga
merasa hal yang sama, tapi air mata sungguh sulit untuk tertumpah.
Istriku yang baik dan shalehah
juga menceritakan padaku perihal penjual bakso di dekat rumah. Biasa kalau kami
jalan-jalan di akhir minggu bersama anak kami, mampirlah kami ke tempat itu.
Baksonya enak, dan membuat kami jadi ketagihan. Namun, suatu waktu istriku bercerita
bahwa penjual bakso (suami-istri) keduanya kini
telah tiada. Beberapa hari lalu mereka telah dipanggil-Nya di sebuah tikungan
jalan—tempat dimana pada sebuah permulaan malam aku motorku jadi lunglai,
terjatuh bersama istri dan anakku. Di sekitar situ, penjual bakso itu berakhir,
dan alhamdulillah anaknya masih tetap ada, selamat dari kejadian itu.
Aku juga merenung di sebuah
kelas, saat menjadi pengawas Ujian Nasional (UN) di salah satu SMA di Jakarta
Timur. Aku merenung, Ya Allah, segala puji bagi-Mu aku dan keluarga tidak
apa-apa waktu itu. Yang membuat aku salut, adalah sosok istriku. Waktu jatuh
itu, dia menjatuhkan lututnya lebih dahulu ke tanah, sedangkan dia sedang
menggendong Anisah anak kami. Kenapa dia lakukan itu? Dia bercerita, kurang
lebih setahun setelah kejadian itu—dan aku baru tahu. Dia jatuhkan lututnya
agar yang luka lututnya, itu karena untuk melindungi janin yang sedang
dikandungnya. Dan, alhamdulillah
beberapa bulan kemudian Afifah Azizah, anak kami yang kedua lahir dengan
selamat.
Menangis. Kita sering sekali
mendapatkan moment atau dikejutkan oleh itu. Pekabaran kematian yang kita
dengar, atau yang kita baca di koran-koran, itu sesungguhnya adalah sinyal bagi
kita. Agar apa? Agar kita sadar. Segera sadar. Terbangun dari kenikmatan
maksiat. Agar kita segera membasuh nurani kita untuk kembali ke jalan Allah.
Karena kita sendiri tidak tahu, apa yang akan menimpa kita nanti. Sembilan
orang mahasiswa Malang yang dalam perjalanan pulang dari sebuah pesta ulang
tahun kawannya di sebuah villa, mereka juga sepertinya tidak tahu kalau mereka
akan pergi. Sekiranya mereka tahu akan ada kejadian itu, mungkin mereka akan
mati-matian tidak mau ikut bersama rombongan kawan-kawannya dan pulang larut
malam itu.
Kita tidak tahu, kapan dan apa
saja yang menimpa kita. Saat kita masih kuat, masih punya kuasa, kita sering
melalaikan yang namanya ibadah. Kita sering menggampangkan sesuatu. Terkadang,
kita juga mempelintir ayat-ayat suci demi keinginan kita untuk mendapatkan
kuasa. Kita menjadi rela menjual ayat-ayat Allah yang mulia hanya untuk
kenikmatan dunia. Dan, kalau kita sudah mendapatkan kehormatan dunia, pasti
nanti kita akan turun juga. Kalau sudah turun dan tidak ada jabatan, adakah
kawan, atau relasi kita yang mau menengok kita? Kalau dulu saat masih
cantik/ganteng kita punya banyak kawan, banyak juga yang membangga-banggakan
kita bahwa kita itu hebat, kita itu pintar, cantik dan sebagainya. Tapi, nanti
kalau kita sudah reot, ubanan, keriput, adakah mereka yang pernah berkata itu
masih mau datang bercerita dengan kita, atau sekedar menjenguk kita?
Ah, menangis..menangis. Tak
terasa kita membanggakan diri, kita angkat diri kita, kita pajang profil kita.
Dan orang-orang pun bertepuk tangan kepada kita. Tapi, sesungguhnya apakah kita
yakin bahwa tepuk tangan itu adalah berkah, ataukah malah sengsara bagi kita?
Kita menjadi bangga, membanggakan diri karena punya menganggap punya kelebihan
ini dan itu. Kenapa kita tidak menjadi orang yang tawadhu', tidak membanggakan
diri, tahu diri bahwa kita ini tidak ada apa-apanya. Kita ini, dulunya hanya
setetes air yang hina, kemudian berkat kasih sayang Allah kita diberikan mata,
telinga dan hati. Dan, itu untuk apa? Untuk apa Allah berikan kita tiga potensi
itu? Adalah untuk menguji kita, apakah kita bersyukur, ataukah malah kufur.
Demikian dalam surat Al-Insan pada ayat-ayat permulaan bermakna.
Sudahlah, lebih baik kita
menjadi orang yang baik-baik saja. Kita semakin tinggikan cinta kita kepada
Allah, kepada Rasulullah, kepada dakwah, dan mau untuk berdakwah. Kita berikan
penerangan kepada mereka yang gelap, dan tetap kita istiqamah di jalan yang
terang.
Sahabat, jika selama ini ada salah-salah kata
engkau temukan dari aku, aku sungguh memohon maaf. Semoga apa yang kita menjadi
amalan yang baik, yang akan membawa kita menuju surga. Jangan sampai, fasilitas
yang kita miliki malah menjadikan kita terlena, terkunci mata hati untuk
berdakwah, untuk menyebarkan bibit-bibit kebaikan di hati
masyarakat sekitar. Siapa lagi yang akan
menjadi da'i kalau bukan kita? Mari kita menjadikan segala fasilitas yang Allah berikan sebagai amal
kebaikan, dan jangan sampai fasilitas yang kita punya menjadikan kita buta, dan
semakin jauh dari cahaya Allah yang
begitu terang dan menerangi... []
No comments:
Post a Comment