BAYANGKANLAH saat lagi asyik-asyiknya baca buku di teras rumah, tiba-tiba muncul seekor ular kobra raksasa
sebesar paha orang dewasa menegakkan kepalanya dan jaraknya hanya dua meter
dari Anda.
Gigi taring ular itu yang tajam menyeringai, matanya
yang bengis menatap tajam pada Anda. Dari desisnya yang menyeramkan, Anda
langsung bisa menebak ular kobra itu mungkin sudah beberapa hari tidak
menyantap apapun. Ia merayap
tanpa takut, dan pelan-pelan mendekati Anda.
Kira-kira apa yang akan Anda
lakukan?
Lari? Berteriak
“Tolong…Tolong…”?
Segera mengambil ponsel dan
menelepon teman?
Atau, malah Anda langsung
terkapar di lantai tak berdaya?
Sebagian besar kita, pasti
refleks langsung lari, menghindar tanpa berpikir panjang melihat ular itu.
Padahal, kenapa kita tidak pikirkan dan analisis dulu kejadian tersebut?
“Itulah kerja bawah sadar
kita,“ kata Ariesandi Setyono dalam bukunya Hypnoparenting. Keputusan
kita, selalu kita ambil sesuai dengan apa yang terprogram dalam pikiran bawah
sadar kita.
Darimana pikiran tersebut
berasal? Tentunya, hal itu kita dapatkan dari cerita orang tua kita yang
mengatakan bahwa ular kobra itu berbahaya, nak! Jangan dekat-dekat! Bisa-ya
sangat berbahaya! Orang bisa lho mati gara-gara bisa ular itu. Atau mungkin dari pengaruh televisi yang
menanyangkan keganasan si kobra. Akhirnya, hanya ada satu jalan ketika kita
bertemu dengan ular kobra: segera angkat kaki dan ambil langkah seribu!
...Lariiii!!!
Begitulah pikiran kita
diprogram. Begitulah kesadaran kita dibentuk. Kita selalu dikendalikan secara
tidak sadar oleh lingkungan kita yang akhirnya membuat kita menjadikan pikiran
itu sebagai sandaran dalam bertindak.
Akan tetapi, seandainya. Seandainya orang tua kita
adalah seorang pedagang ular kobra yang berhasil. Pedagang yang sukses menjual
empedu dan darah kobra sebagai obat dan kulitnya itu diolah sebagai barang
kerajinan, yang dengan usaha itulah akhirnya bisa membiayai sekolah kita dan
membeli rumah yang ala kadarnya serta mengajari kita bagaimana cara menangkap
ular kobra yang bernilai jual tinggi itu: apa kira-kira yang akan kita lakukan
ketika bertemu dengan ular kobra? Apakah kita akan lari? Sepertinya tidak.
Mungkin, kita malah berteriak kegirangan dan bersiap-siap untuk menangkapnya,
karena memang di pikiran bawah sadar kita sudah ter-format bahwa ular
kobra itu adalah rezeki.
Cerita ini menggambarkan
sebuah dunia persepsi dimana kita dibentuk. Lingkungan sekitar kita selalu
membentuk kita sesuai dengan keinginannya. Jika persepsi yang terbentuk dalam
kepala kita bahwa ular kobra itu berbahaya, bahwa pasti kita akan menjauhinya.
Namun sebaliknya, jika kita selalu dilatih untuk bisa menangkap kobra karena
dia bernilai ekonomis yang tinggi, maka kita pasti tak akan beranjak dari
tempat duduk kita.
Sebuah ungkapan mengatakan, ”Seseorang menakuti sesuatu
yang tidak diketahuinya.” Kita takut, karena kita tidak tahu cara untuk lebih
selamat dan lebih ’menang’ ketika
berhadapan dengan si kobra. Seperti juga perkara setan. Orang-orang menyebut, ”Hei, hati-hati lewat
jalan itu, ada setannya!” ”Di situ tempatnya angker!” Seperti kasus pohon
keramat di jalan Hayam Wuruk, Jakarta.
Pohon beringin itu usianya
sudah tua. Bahkan ketika pembangunan jalur busway, pohon itu tidak juga
berani ditebang oleh pemerintah setempat. ”Saya setiap hari mangkal di sini. Emang angker. Pokoknya jangan macam-macam
deh. Ini mah kelas berat. Yang nebang pohon ini aja mati, “ ujar kang Asep
dengan logat Sundanya yang kental.
Pohon itu diyakini angker
sekali. Hingga karena keangkerannya, orang-orang pun takut untuk sembarangan
dengannya. Taufik, petugas parkir misalnya, yang telah lima belas tahun bekerja
di samping pohon itu bertutur: ”Saya sudah lima belas tahun di sini. Emang,
pohon itu ada penunggunya. Jangan coba-coba kencing di sana tanpa permisi dulu.
Bisa-bisa sakit panas dingin. Saya pernah kencing di sana, tanpa permisi, pas
balik ke sini langsung panas dingin.”
Akan tetapi, persepsi keangkeran pohon itu pun mulai
ditebang oleh sekelompok pemuda dari organisasi Persatuan Islam (Persis) di
bawah komando Zainal Arifin Abu Dhiya. Ia dan teman-temannya pun menebang
dengan lancar pohon tersebut dan mereka malah tidak kena sakit atau kemasukan.
”Tidak ada apa-apa setelah menebang. Cuma lecet-lecet tangan karena pegang
golok. Tidak ada yang sakit atau kesurupan. Saat penebangan biasa saja. Tidak
ada nuansa mistis,” tutur Saidul Makki, salah seorang anggota penebang seperti
dikutip Majalah Ghoib (07/12/06)
Dari dua kisah di atas, kita
bisa ambil ‘ibrah. Bahwa sikap kita saat ini kerap dibentuk oleh lingkungan kita. kita takut
dengan ular kobra karena pikiran kita dibentuk untuk takut kepadanya. Begitu
juga kita takut jalan di tempat yang sepi, sunyi, kuburan, atau terhadap pohon
tertentu yang dikeramatkan. Kita takut karena kita tidak tahu ilmunya, karena
kita tidak mengikuti persepsi orang lain bahwa di tempat gelap itu banyak
setannya dan kita harus menjauh darinya. Padahal, mungkin, bagi seorang
peruqyah, berjalan di tempat yang gelap, atau berhadapan dengan jin baik muslim
dan kafir yang menganggu manusia, itu adalah tindakan kebaikan dan tidak perlu
ditakuti.
Jadi, jika kita punya ilmu tentang ular kobra,
tentang tempat keramat, masih takutkah kita dengan persepsi bahwa ular kobra
dan pohon keramat itu menyeramkan? Semoga tidak ya! []
No comments:
Post a Comment