SEBUAH pepatah Cina yang
mengungkapkan seperti ini:
“Saya mendengar, tetapi saya bisa lupa. Saya
melihat dan saya menjadi teringat. Saya bertindak dan saya pun akan menjadi
mengerti.”
Cuma dengar, jadinya: Lupa. Melihat: Teringat. Bekerja:
Mengerti.
Jika dibandingkan dengan sebuah
penelitian yang pernah dilakukan di Amerika, kita akan dapati kecocokan di
dalamnya. Salah satu kesimpulan penelitian tersebut berbunyi begini, “Sepuluh
persen yang kita ingat berasal dari apa yang kita dengar, 25 persen yang kita ingat
berasal dari apa yang kita lihat, sedangkan 90 persen yang kita ingat berasal
dari apa yang kita lakukan.”
Jika hanya mendengar, maka kita hanya menggunakan satu
potensi saja di situ. Begitu juga jika hanya mengandalkan mata, melihat
objek-objek yang ada. Mata tidak penuh memberikan ingatan bagi kita. Tapi kalau
kita melaksanakan apa yang kita ketahui itu, maka sebagian besar potensi kita
yang terpendam akan teraktualisasikan.
Kunci untuk meraih sukses, salah
satunya adalah dengan melakukan atau aksi nyata. Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika, pernah
mengatakan:
”Saya bisa saja
bangun pukul sembilan pagi. Memang saat itulah saya merasa nyaman. Atau, saya
bisa saja bangun pukul enam pagi. Ketika itulah saya menjadi Presiden Amerika
Serikat.”
Carter saja
yang tidak melaksanakan lima waktu shalat ‘mengandalkan’ bangun jam enam pagi dan menjadi presiden, bagaimana dengan
kita yang telah terbiasa bangun subuh? Apakah benih-benih kesuksesan dari
kedisiplinan itu telah nampak atau masih berada dalam dunia khayali?
Terkadang kita mengeluh. “Susah, susah
sekali, saya tidak bisa!” Kita pun men-judge diri kita dengan kata-kata
yang mematikan potensi kita. Kita merasa, bahwa diri kita lebih rendah, jauh
sekali jaraknya dengan barisan orang sukses. Padahal, secara fisikal kita sama
dengan mereka, namun secara psikis kita ketinggalan jauh dari mereka. Kereta
mereka telah sampai ber-mil di depan, dan kita masih sibuk mempersoalkan apakah
kita harus pergi atau tidak.
Lakukanlah. Jika kamu ada rencana dan menurut hati kamu ada
kemungkinan bisa, maka kerjakanlah. Jangan menunda-nunda waktu. Karena harimu
adalah hari ini, kata Aidh Al-Qarni. Maka jangan sedih dengan apa yang telah
berlalu.
Setidaknya, ada dua faktor yang
membuat seseorang tidak melakukan apa yang dia bisa lakukan. Pertama, rasa takut. Menurut Dr. Ibrahim El-Fiky, rasa takut adalah
musuh dan aral pertama bagi seseorang yang dapat mencegah untuk mewujudkan apa
yang dia impikan. Menurutnya, ada empat macam rasa takut.
Satu: Rasa
takut mengalami kegagalan. Orang seperti ini begitu penuh pertimbangan. Dia
takut gagal. Dia tidak mau mengambil resiko besar. “Ah, mendingan saya jadi PNS
ajalah,” begitu katanya. “Jadi PNS itu gajinya jelas, terus ada jaminan hari
tuanya juga lho.” Tipe seperti ini adalah tipe manusia yang buka petarung. Jika ini
melanda diri kamu, maka kamu hanya akan menjalani hidupmu dengan hari-hari yang
sama. Kamu tidak akan menorehkan kreativitas, karena hati kamu telah jatuh,
karena semangat kamu telah tercerabut oleh kesenangan jabatan dan pekerjaan.
Saya teringat kisah Jusuf Kalla. Setamat dari kuliah dari Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (Makassar), kabarnya, perusahaan ayahnya nyaris bangkrut. Tapi, apa yang dilakukan
Kalla? Dia tidak lari dari masalah. Kalla justru melanjutkan perjuangan ayahnya
lewat perusahaan tersebut. Dia berani mengambil tantangan. Pada perjalanan sejarah selanjutnya, nama Kalla menjadi begitu
terkenal, bahkan ia dianggap sebagai seorang “pendamai” dalam konflik di dalam dan luar negeri.
Jika masuk dalam dunia bisnis, sebagai
contoh, maka seperti juga dunia lain, kita selalu akan dihadapkan pada dua tikungan:
kegagalan dan keberhasilan. Masalahnya sebenarnya bukan pada kegagalan itu,
akan tetapi pada bagaimana cara kita menghadapi kegagalan. Gagal itu biasa, dan
itu sudah sunnatullah, akan tetapi bangkit dari keterpurukan adalah
kecerdasan penting yang perlu kita miliki.
Dua: Rasa
takut untuk tidak diterima. Rasa takut ini menjadi faktor bagi sebagian orang
untuk tidak mau mengubah kebiasan-kebiasaan dalam hidupnya. Sebenarnya ini
penyakit psikologis, yang perlu segera dicarikan obatnya. Langkah yang perlu
dilakukan adalah dengan banyak-banyak melihat jalan hidup orang sukses. Membaca
biografi adalah salah satu cara yang sukup ampuh untuk itu. Saat ini ada Majalah Biografi Politik yang bagus sekali dibaca.
Walaupun masih terbatas distribusinya di kota-kota besar, tapi majalah ini
berguna sekali sebagai cara kita untuk belajar dari pengalaman orang lain.
Begitu banyak orang yang awalnya
minder, tapi setelah dia singkirkan rasa buruk itu, dia pun berhasil. Terkadang
memang ada orang yang tidak mau menerima diri kita, tapi yakinlah tidak semua
orang seperti itu. Bekerjalah dan carilah potensi besar yang ada dalam diri
kamu, maka kamu akan diterima oleh orang lain. Jika tidak sekarang, suatu saat
nanti.
Tiga: Rasa
takut terhadap hal yang belum diketahui. Kita terkadang membenci apa yang kita
belum ketahui. Bahaya juga ya? Kita belum tahu betul
sesuatu itu apa, eh malah kita membencinya. Dalam kasus mereka yang mengidap “virus” ini, sesungguhnya sadar atau
tidak, mereka telah terkena virus
ketakutan menghadapi masalah. Untuk berhasil, jangan takut pada sesuatu yang
baru. Belajarlah, maka kearifan, solusi akan engkau temukan di situ.
Empat: Rasa
takut untuk meraih kesuksesan. Ini salah satu penghalang yang perlu kita
singkirkan. Sukses itu harus direbut. Dan untuk mendapatkannya tidak bisa hanya
dengan santai-santai. Sukses itu perlu dikejar. Orang
yang takut model begini, mungkin tepat apa kata salah seorang tokoh dari pesantren,
“Takut hidup, mati saja!” Artinya, janganlah mau menjadi orang yang tidak
berguna. Cita-cita harus ada, dan ada semangat untuk menggapainya juga harus
ada.
Yang kedua adalah: sikap menunda. Seorang penulis pernah mengatakan, “Janganlah Anda merasa
risau dengan kegagalan yang terjadi. Namun, sebaiknya Anda merasa gelisah atas berbagai kesempatan yang Anda
sia-siakan sampi akhirnya Anda berupaya memanfaatkannya.” Hampir sama dengan ini juga, ada sebuah pepatah Jepang yang mengatakan seperti ini, “Apabila Anda terjatuh
sebanyak tujuh kali, bangunlah pada yang kedelapan kalinya!” Wah, luar biasa ya. Ini berarti kalau jatuh sekali dua kali jangan
putus asa.
Sikap untuk menunda-nunda adalah sikap
yang menunjukkan ketidakjelasan planning. Jika kita telah memiliki visi, maka
kita akan berupaya untuk mewujudkan hal itu. Namun, jika kita menunda itu
berarti kita mengalami semacam dis-orientasi. Olehnya itu, agar tidak menunda-nunda terus, kita perlu biasakan membuat
planning, perencanaan. “Tindakan tanpa planning,”
kata Brian Tracy, “Adalah faktor utama dari segala kegagalan.”
Marilah kita belajar dari orang yang
berhasil. Walt Disney pernah diberhentikan di koran tempat bekerjanya karena
dia disebut tidak inovatif. Gurunya Edison juga pernah mengatakan bahwa Edison
adalah murid yang bodoh. Einstein bahkan tidak bisa berbicara hingga berusia
empat tahun dan belum bisa membaca sebelum usia tujuh tahun.
Nah, tentunya mereka bisa berhasil
karena apa? Itu karena mereka mencoba, kan? Itu karena mereka melakukan. Perkara gagal
dan berhasil itu konsekuensi logis yang harus diterima. Tugas kita hanyalah
membuat planning kemudian berusaha
sekuat tenaga menggapai planning hidup
tersebut. []
No comments:
Post a Comment