BEBERAPA hari sebelum Cak Nur (Nurcholish Madjid) meninggal dunia, KH. Hasyim
Muzadi menemui beliau. Ada sebuah ucapan Cak Nur yang kata KH. Hasyim masih
terngiang di benak beliau. Cak Nur berkata, kurang lebih seperti ini, “Saya
berhasil mendidik orang yang cerdas, tapi saya belum berhasil mendidik mereka
menjadi saleh.” Olehnya itu,
Cak Nur berpesan kepada KH. Hasyim Muzadi agar Pondok Pesantren Al-Hikam di
Malang Jawa Timur, yang diasuh oleh ketua umum PBNU itu, dijaga untuk mencetak
orang-orang yang cerdas dan shaleh.
Bagi mahasiswa Pascasarjana
Universitas Indonesia angkatan ke-15 yang menghadiri kuliah Islamic Worldview (19/11/08) dengan
pembahasan tentang Gerakan Islam di Indonesia, tentu akan mendengarkan cerita
singkat ini.
Ada yang menarik dari ucapan Cak Nur, mantan rektor
Universitas Paramadina di atas. Ini tentang kecerdasan dan kesalehan. Cerdas bisa kita terjemahkan dengan
kemampuan optimalisasi rasio, sedangkan saleh bisa kita maknai sebagai sense
(rasa) dan penghayatan dalam menjalankan perintah keagamaan.
Ada yang menarik dari pertanyaan intelektual muda Adnin
Armas dalam sebuah diskusi kelompok Kajian Zionisme Internasional di kantor Majalah
Sabili. Salah satu alumni Gontor yang berprestasi itu mengajukan sebuah
pertanyaan, “Kenapa para pakar Islam yang menguasai Islam di dunia Barat—bahkan
pengetahuan keislamannya melebihi—tidak juga masuk ke dalam agama Islam yang
mereka yakini bahwa Islam itu agama yang benar?”
Ini menjadi menarik karena kenapa mereka yang
pengetahuan keislamannya luas, bahkan lebih luas dari orang kebanyakan, mereka
tahu bahwa Islam itu agama yang benar, akan tetapi tidak juga mereka masuk
Islam. Selain faktor hidayah dari Allah yang mungkin belum (atau tidak) datang,
bisa saja diakibatkan karena orientasi yang salah dalam mengkaji Islam.
Artinya, kalau orientasi kajian Islamnya untuk menghancurkan Islam dengan
proyek tertentu seperti Snouck Hurgronje (1857-1936), maka hidayah sulit akan
datang.
Di masa kekinian di Indonesia pada beberapa kasus dan
kelompok kita melihat bahwa ada yang secara teoritis, debat keislamannya begitu
kuat. Argumentasinya banyak, bacaannya luas, dan mendengarnya kita jadi
terkesan kemudian membenarkan pemikiran itu yang bisa saja salah karena
memutarbalikkan ayat-ayat Tuhan. Akan tetapi, secara kepribadian, ibadahnya
menjadi lemah, dan nyaris tidak ditemukan “min atsaris sujud”-nya, atau
“tanda-tanda/bekas bahwa ia rajin bersujud kepada Allah.”
Kalau disebut itu kekurangan
manusia, wajar saja karena semua manusia pasti punya kelebihan dalam satu sisi
dan kekurangan dalam sisi yang lain. Namun, dalam konteks ideal Islam, sebenarnya
kita membutuhkan figur intelektual atau pemimpin yang tidak hanya bagus secara
wacana keislaman, namun juga punya karakter yang shaleh. Salah satu ciri
karakter yang shaleh itu bisa kita lihat dari perkataan dan perbuatannya. Jika
seseorang disebut baik, kemudian kita sering mendengar ia mencela kelompok
lain, bahkan mungkin dengan kata-kata yang tidak pantas, itu menunjukkan bahwa
individu itu masih belum bisa dijadikan rujukan atau teladan. Artinya, tanda
dari kematangan intelektual seseorang bisa dilihat dari sejauh mana ia lebih
dewasa dalam berdebat, dan menggunakan kaidah serta pilihan kata yang sebaik
mungkin.
Dalam Al-Qur’an surat Ali
Imran ayat 190-191, Allah mengatakan kepada kita bahwa tanda-tanda dari orang
pintar atau berakal, atau “Ulul Albab” adalah mereka yang rajin BERZIKIR kepada
Allah, dan rajin BERPIKIR atas ciptaan Allah.
Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191)
Artinya, seorang yang cerdas dalam Islam, tentunya akan
rajin mengingat Allah, rajin beribadah, dan punya karakter zikir yang baik. Dan karakter ini bisa kita rasakan jika
kita berada di sekelilingnya, atau pernah berinteraksi dengannya. Selain itu,
juga karakter rajin menggunakan rasio dan tidak malas dalam berpikir, atau
dalam bahasa Cak Nur, tidak “simple
minded” (berpikiran sederhana). Idealnya, dan ini sepatutnya kita
perjuangkan bersama, adalah menciptakan sosok intelektual muslim di negeri ini
yang cerdas rasionya, juga shaleh akhlaknya. Kedua
unsur ini harus kita padukan bersama, agar kepribadian intelektual muslim tidak
menjadi terpecah. Dengan begitu, akan banyaklah sosok intelektual muslim yang
bisa kita teladani baik dari segi rasionya dan moralnya.
Pesan Cak Nur kepada KH. Hasyim Muzadi rasanya begitu
penting untuk kita renungkan bersama. Karena sosok Cak Nur kita kenal sebagai
intelektual muslim yang pemikirannya kritis, dan santun cara bicaranya. Walau
banyak kritikan datang kepadanya, terutama ide-ide pembaruannya, setidaknya
pesan di atas perlu kita renungkan bersama. Makna yang bisa kita petik dari
pesan itu adalah bahwa dalam Islam kita membutuhkan orang-orang yang cerdas intelegensi,
emosi, juga spiritualnya. Kita
tidak bisa memisahkan antara cerdas di satu sisi dan saleh di sisi lainnya. Keduanya adalah satu
keterpaduan. []
No comments:
Post a Comment